Jumat, 23 September 2016

Makassar Abad ke-16 Hingga 17



Meninjau Kembali Sejarah Makassar Abad ke-16 Hingga 17
Judul               : Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar
Penulis             : William Cummings
Penerbit           : Honolulu University Of Hawaii Press
Tahun Terbit    : 2002
Tebal Buku      : xiii + 257 Halaman

Buku yang ditulis oleh Willam Cummings ini merupakan sebuah buku yang mengajak kita kembali pada kehidupan masa lalu Makassar dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik penciptaan sejarah itu sendiri. Buku ini merupakan sebuah buku mengenai proses transisi yang terjadi ketika tradisi budaya lisan beralih menjadi tradisi tulisan di Makassar Sulawesi Selatan yaitu pada abad ke-16 dan ke-17. Dalam buku ini penulis mencoba menggali kekuatan penupang transformasi sosial budaya yang terjadi di masa modern awal di kawasan tersebut, yang ditandai dengan adanya interaksi antara penduduk asli dan kemunculan kekuasaan kolonial dan perdagangan bangsa Eropa.
Dalam bab pendahuluannya, Cummings membuat sejumlah klaim historiografi yang mengenalkan formasi-formasi intelektual, agama, budaya dan sosial yang kemudian di represantikan oleh naskah tertulis sebagai kekuatan-kekuatan dalam sejarah. Bagian pertama dari buku ini berjudul “History Making” atau sejarah yang tercipta dan terbagi atas tiga bab. Pembahasan tersebut di awali dengan dengan kesimpulan dari perdebatan mutakhir mengenai pertanyaan bagaimana cara teks atau naskah sejarah Indonesia itu sebaiknya di evaluasi. Pembahasan kemudian di teruskan dengan mengungkapkan garis cerita utama da episode dalam cerita naratif masa modern awal Makassar yakni masa penting ketika persekutuan antara raja Gowa dan Tallo bekerja sama dalam mengadapi kekuatan kerajaan lawannya. Penelusuran itu difokuskan secara eksklusif pada kerajaan Gowa yang mana pada pertengahan abad ke-16  hingga akhir abad ke-17 merupakan kerajaan Makassar terpenting dan yang paling besar baik dalam segi ekonomi maupun militernya. Bagian tersebut menggambarkan manuskrip dan cerita-cerita mengenai asal mula orang Makassar hingga munculnya budaya tulisan pada abad ke-16 sebagai upaya melukiskan masa lalu.
Selanjutnya penulis juga mendiskusikan mengenai latar belakang sistem penulisan dan jender dalam literatur Makassar. Kesakralan teks atau naskah tertulis Makassar mendapatkan tekanan yang kuat disini. Selain itu, di buku ini juga terdapat skema rute perubahan dan transformasi  dari sejarah lisan ke sejarah tertulis. Pada periode inilah sumber-sumber tertulis menjadi ciptaan dengan torehan kesakralan dan kekuatan yang berasal dari situs-situs maupun objek sejarah yang  telah ada sebelumnya. Kekuatan-kekuatan inilah yang oleh Cummings dipercaya telah membuat naskah-naskah tertulis Makassar itu berperan sebagai agen penting bagi perubahan masyarakat. Dengan menyakinkan, Cummings juga memberikan beberapa poin yang fundamental yang jelas disiapkan bagi argumen selanjutnya yaitu mengenai pentingnya obyek, tempat dan fokus kuat dari cerita-cerita asli sebagai gambaran karakteristik tradisi lisan Makassar.
Sebelum tiba pada kesimpulan, penulis sekali lagi memperlihatkan proses kodifikasi budaya dan tradisi yang dibendakan. Benda sejarah itu kini tidak lagi tersimpan pada kelompok atau tetua yang dihormati seperti sebelumnya, dan naskah tertulis telah memungkinkan konsep-konsep budaya didefinisakan termasuk kumpulan ajaran moral, naskah Islam, hukum tertulis, dogma, kepercayaan, norma, maupun doktrin. Bagi sebagian antropolog seperti David Bulbeck, pengetahuan Cummings tentang arkeologi Sulawesi Selatan dikritik sebagai “medioker” atau kurang matang. Bahasan mengenai keterpencilan wilayah Gowa selama abad ke -14 dan ke-15 kebenarannya masih dianggap meragukan. Kritik juga dilontarkan oleh sejarawan senior yaitu Heather Sutherland yang mana dalam kritiknya mempertanyakan siapa sebenarnya orang Makassar yang dimaksud oleh Cummings dalam bukunya yang dianggap masih kabur.
Namun lain dari pada itu, Cumming juga patut dihargai karena telah membuat pemahaman tentang sejarah di daerah Makassar makin mendalam dan bernuansa yang disebabkan oleh tulisannya tersebut. Selain itu karena dalam proses pembuatan juga menggunakan bahasa kuno yang tidak selalu dapat dimengerti, karakter tulisan Makassar yang sering sulit untuk dikenali. Sehingga tidak berlebihan jika sejarawan Paul Kratoska mengomentari buku ini sebagai monograf yang menginsyafkan kita bahwa sejarah bukanlah hanya persoalan sejarawan kontemporer belaka, namun juga telah menjadi perhatian dari sekelompok elite sosial berdarah putih dari Kerajaan Gowa Makassar dengan budaya khasnya, dari beberapa abad silam yang pada mulanya dianggap sebagai kebudayaan yang terisolasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar