Meninjau Kembali Sejarah Makassar Abad ke-16 Hingga
17
Judul : Making Blood White: Historical
Transformations in Early Modern Makassar
Penulis : William Cummings
Penerbit : Honolulu University Of Hawaii Press
Tahun Terbit : 2002
Tebal Buku : xiii + 257 Halaman

Dalam bab
pendahuluannya, Cummings membuat sejumlah klaim historiografi yang mengenalkan
formasi-formasi intelektual, agama, budaya dan sosial yang kemudian di
represantikan oleh naskah tertulis sebagai kekuatan-kekuatan dalam sejarah.
Bagian pertama dari buku ini berjudul “History
Making” atau sejarah yang tercipta dan terbagi atas tiga bab. Pembahasan
tersebut di awali dengan dengan kesimpulan dari perdebatan mutakhir mengenai
pertanyaan bagaimana cara teks atau naskah sejarah Indonesia itu sebaiknya di
evaluasi. Pembahasan kemudian di teruskan dengan mengungkapkan garis cerita
utama da episode dalam cerita naratif masa modern awal Makassar yakni masa
penting ketika persekutuan antara raja Gowa dan Tallo bekerja sama dalam
mengadapi kekuatan kerajaan lawannya. Penelusuran itu difokuskan secara
eksklusif pada kerajaan Gowa yang mana pada pertengahan abad ke-16 hingga akhir abad ke-17 merupakan kerajaan
Makassar terpenting dan yang paling besar baik dalam segi ekonomi maupun
militernya. Bagian tersebut menggambarkan manuskrip dan cerita-cerita mengenai
asal mula orang Makassar hingga munculnya budaya tulisan pada abad ke-16
sebagai upaya melukiskan masa lalu.
Selanjutnya penulis
juga mendiskusikan mengenai latar belakang sistem penulisan dan jender dalam
literatur Makassar. Kesakralan teks atau naskah tertulis Makassar mendapatkan
tekanan yang kuat disini. Selain itu, di buku ini juga terdapat skema rute
perubahan dan transformasi dari sejarah
lisan ke sejarah tertulis. Pada periode inilah sumber-sumber tertulis menjadi
ciptaan dengan torehan kesakralan dan kekuatan yang berasal dari situs-situs
maupun objek sejarah yang telah ada
sebelumnya. Kekuatan-kekuatan inilah yang oleh Cummings dipercaya telah membuat
naskah-naskah tertulis Makassar itu berperan sebagai agen penting bagi
perubahan masyarakat. Dengan menyakinkan, Cummings juga memberikan beberapa
poin yang fundamental yang jelas disiapkan bagi argumen selanjutnya yaitu
mengenai pentingnya obyek, tempat dan fokus kuat dari cerita-cerita asli
sebagai gambaran karakteristik tradisi lisan Makassar.
Sebelum tiba pada
kesimpulan, penulis sekali lagi memperlihatkan proses kodifikasi budaya dan
tradisi yang dibendakan. Benda sejarah itu kini tidak lagi tersimpan pada
kelompok atau tetua yang dihormati seperti sebelumnya, dan naskah tertulis
telah memungkinkan konsep-konsep budaya didefinisakan termasuk kumpulan ajaran
moral, naskah Islam, hukum tertulis, dogma, kepercayaan, norma, maupun doktrin.
Bagi sebagian antropolog seperti David Bulbeck, pengetahuan Cummings tentang
arkeologi Sulawesi Selatan dikritik sebagai “medioker” atau kurang matang. Bahasan
mengenai keterpencilan wilayah Gowa selama abad ke -14 dan ke-15 kebenarannya
masih dianggap meragukan. Kritik juga dilontarkan oleh sejarawan senior yaitu
Heather Sutherland yang mana dalam kritiknya mempertanyakan siapa sebenarnya
orang Makassar yang dimaksud oleh Cummings dalam bukunya yang dianggap masih
kabur.
Namun lain dari pada
itu, Cumming juga patut dihargai karena telah membuat pemahaman tentang sejarah
di daerah Makassar makin mendalam dan bernuansa yang disebabkan oleh tulisannya
tersebut. Selain itu karena dalam proses pembuatan juga menggunakan bahasa kuno
yang tidak selalu dapat dimengerti, karakter tulisan Makassar yang sering sulit
untuk dikenali. Sehingga tidak berlebihan jika sejarawan Paul Kratoska
mengomentari buku ini sebagai monograf yang menginsyafkan kita bahwa sejarah
bukanlah hanya persoalan sejarawan kontemporer belaka, namun juga telah menjadi
perhatian dari sekelompok elite sosial berdarah putih dari Kerajaan Gowa
Makassar dengan budaya khasnya, dari beberapa abad silam yang pada mulanya
dianggap sebagai kebudayaan yang terisolasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar